Badai Byron Menerjang Kamp Pengungsi di Gaza. Badai Byron, yang menerpa Gaza sejak Rabu malam (10 Desember 2025), jadi mimpi buruk baru bagi ratusan ribu pengungsi Palestina yang sudah kehilangan segalanya akibat perang. Hujan deras disertai angin kencang membanjiri ratusan tenda di kamp-kamp pengungsian, dari Rafah di selatan hingga Gaza City di utara, bikin keluarga-keluarga terjebak air setinggi lutut dan dingin menusuk tulang. Bayi perempuan berusia delapan bulan, Rahaf Abu Jazar, jadi korban pertama: ia meninggal karena hipotermia di tenda banjir di Khan Yunis, seperti dilaporkan RS Nasser. Satu warga lain tewas tertimpa dinding roboh di kamp Shati, Gaza City. Badai ini tak datang sendirian—ia ungkap kegagalan bantuan kemanusiaan pasca gencatan senjata dua bulan lalu, di mana Israel batasi masuknya 6.500 truk tenda dan selimut hangat. Ismail al-Thawabta, direktur Kantor Media Pemerintah Gaza, sebut 288.000 keluarga tak punya tempat berteduh layak, dan tuntut dunia tekan Israel buka perbatasan. Ini bukan bencana alam semata, tapi lapisan penderitaan baru di tengah blokade yang tak kunjung reda. BERITA BOLA
Dampak Langsung di Kamp Pengungsi: Badai Byron Menerjang Kamp Pengungsi di Gaza
Badai Byron datang seperti hantaman telak bagi pengungsi yang tinggal di tenda-tenda rapuh, dibangun di tanah gersang tanpa drainase. Di Rafah, keluarga-keluarga seperti milik Sabreen Qudeeh bangun tengah malam untuk selamatkan kasur dari air banjir, tapi tak bisa apa-apa saat tenda ambruk. “Air masuk dari segala sisi, anak-anak basah kuyup dan menggigil,” cerita seorang ibu di kamp Muwasi, Khan Yunis. Di Deir al-Balah dan Nuseirat, Civil Defence Gaza terima ratusan panggilan darurat: tenda banjir, keluarga terperangkap, dan jalan lumpur jadi rawa. Bayi Rahaf, yang tewas di pelukan ibunya Hejar Abu Jazar, jadi simbol tragedi—ia hirup udara dingin setelah tenda keluarganya roboh, tanpa selimut hangat yang diblokir di perbatasan. UNICEF sebut skala bencana “besar”, dengan anak-anak berjalan telanjang kaki di lumpur, risiko infeksi melonjak. Di Gaza City, tiga gedung roboh akibat hujan, tambah kekacauan di kamp Shati—warga potong besi dari puing rumah bom untuk sokong tenda, tapi sia-sia lawan Byron.
Keterbatasan Bantuan dan Tuduhan Blokade: Badai Byron Menerjang Kamp Pengungsi di Gaza
Gencatan senjata dua bulan lalu seharusnya bawa harapan, tapi badai ini bukti kegagalan: Israel biarkan cuma 15.600 tenda masuk Gaza sejak Oktober, katanya Norwegian Refugee Council, padahal butuh ratusan ribu. COGAT klaim kirim 260.000 tenda baru-baru ini, tapi data UNRWA bilang jauh lebih sedikit—bikin pengungsi hirup dingin dan kotoran banjir. “Ini bukan bencana alam, tapi buatan manusia,” kata Jonathan Crickx, kepala komunikasi UNICEF Palestina, soroti risiko penyakit seperti diare dan infeksi pernapasan yang naik 50 persen di kamp basah. Di Maghazi, Mazen Abu Darabi dan tujuh anaknya selamatkan apa adanya saat tenda banjir, tapi tanpa alat sanitasi, lumpur campur limbah ancam epidemi. Al-Thawabta tuntut komunitas internasional tekan Netanyahu: “Pendudukan Israel tanggung jawab penuh, tutup perbatasan saat musim dingin.” Ini soroti kontradiksi: hujan deras di Tel Aviv dapat peringatan aman, tapi di Gaza jadi senjata tak kasat mata.
Respons Lokal dan Internasional
Warga Gaza tunjukkan ketangguhan: Civil Defence selamatkan ratusan dari tenda roboh, sementara UNRWA proses 160 laporan banjir sejak Kamis pagi. Di Khan Yunis, relawan potong besi puing untuk perbaiki tenda, dan keluarga saling pindah cari tanah kering. Internasional respons lambat: PBB minta Israel buka Rafah penuh untuk bantuan musim dingin, tapi COGAT tolak klaim—bikin Shelter Cluster frustrasi. Rumah sakit seperti Nasser overload dengan kasus hipotermia, terutama anak-anak. Di kamp Zeitoun, warga gali parit manual untuk alirkan air, tapi sia-sia lawan debit hujan. Badai Byron diprediksi lanjut seminggu, dengan suhu turun ke 5 derajat Celsius malam hari—risiko kematian massal naik jika bantuan tak masuk.
Kesimpulan
Badai Byron yang banjiri kamp pengungsi Gaza ungkap lapisan penderitaan baru: dari tenda roboh dan bayi Rahaf yang tewas kedinginan hingga blokade bantuan yang biarkan 288.000 keluarga telanjang lawan dingin. Ini bukan alam semata, tapi kegagalan manusia—gencatan senjata tak cukup tanpa tenda dan selimut. Respons warga dan UNRWA beri harapan, tapi tuntutan Al-Thawabta ke dunia tegas: tekan Israel buka perbatasan. Gaza kuat, tapi butuh solidaritas global agar Byron tak jadi babak akhir tragedi. Pantau Rafah, karena bantuan masuk bisa selamatkan ribuan nyawa sebelum dingin musim dingin lebih ganas.





