Total 39 Negara Dilarang Trump Untuk Memasuki AS. Pada 16 Desember 2025, pemerintah Amerika Serikat mengumumkan perluasan kebijakan pembatasan masuk yang signifikan, sehingga total mencapai 39 negara dengan larangan penuh atau parsial bagi warganya untuk memasuki wilayah AS. Kebijakan ini memperluas daftar dari sebelumnya 19 negara menjadi dua kali lipat, dengan penambahan negara-negara baru yang dianggap memiliki kekurangan dalam proses penyaringan dan berbagi informasi keamanan. Langkah ini bagian dari upaya memperketat pengawasan imigrasi, terutama setelah insiden keamanan baru-baru ini. Pembatasan ini akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2026, dan juga mencakup individu yang menggunakan dokumen perjalanan dari Otoritas Palestina. BERITA BOLA
Daftar Negara yang Terkena Dampak: Total 39 Negara Dilarang Trump Untuk Memasuki AS
Kebijakan ini membagi pembatasan menjadi dua kategori utama. Larangan penuh diterapkan pada sekitar 19 negara, termasuk Afghanistan, Myanmar, Chad, Republik Kongo, Guinea Khatulistiwa, Eritrea, Haiti, Iran, Libya, Somalia, Sudan, Yemen, Burkina Faso, Mali, Niger, Sudan Selatan, Syria, Laos, dan Sierra Leone. Negara-negara ini dianggap memiliki risiko tinggi karena ketidakstabilan, korupsi luas, atau dokumen sipil yang tidak reliable, sehingga sulit melakukan vetting yang memadai.
Sementara itu, pembatasan parsial diberlakukan pada 20 negara lain, seperti Burundi, Kuba, Togo, Venezuela, Angola, Antigua dan Barbuda, Benin, Pantai Gading, Dominica, Gabon, Gambia, Malawi, Mauritania, Nigeria, Senegal, Tanzania, Tonga, Zambia, dan Zimbabwe. Pembatasan parsial ini biasanya membatasi jenis visa tertentu, terutama yang berkaitan dengan imigrasi permanen atau visa non-imigran dengan risiko overstay tinggi. Ada penyesuaian juga, seperti pelonggaran sebagian untuk Turkmenistan karena kemajuan dalam kerjasama informasi.
Alasan di Balik Perluasan Kebijakan: Total 39 Negara Dilarang Trump Untuk Memasuki AS
Perluasan ini didasarkan pada penilaian bahwa negara-negara tersebut memiliki defisiensi serius dalam penyaringan, vetting, dan berbagi data keamanan. Pemerintah AS menekankan perlunya kewaspadaan ekstrem untuk melindungi keamanan nasional dan keselamatan publik. Faktor lain termasuk tingginya angka overstay visa, penolakan menerima kembali deportan, serta ketidakstabilan pemerintahan yang menyulitkan verifikasi identitas.
Kebijakan ini dipengaruhi oleh beberapa peristiwa terkini, seperti insiden penembakan yang melibatkan imigran dari salah satu negara terdampak, serta serangan yang menewaskan personel AS di luar negeri. Meski ada pengecualian untuk penduduk tetap legal, pemegang visa valid, atau kasus yang melayani kepentingan nasional AS, kebijakan ini menghilangkan beberapa pengecualian sebelumnya, seperti untuk keluarga dekat warga AS dari negara tertentu.
Dampak dan Respons Awal
Kebijakan ini berdampak luas terhadap perjalanan, studi, pekerjaan, dan reunifikasi keluarga bagi jutaan orang dari negara-negara terkait. Banyak yang sudah memiliki rencana perjalanan atau aplikasi visa harus menyesuaikan diri, sementara proses imigrasi dari negara-negara ini semakin terhambat. Organisasi kemanusiaan menyatakan kekhawatiran bahwa pembatasan ini memukul keras pengungsi dan korban konflik dari wilayah tidak stabil.
Di sisi lain, pendukung kebijakan ini melihatnya sebagai langkah data-driven untuk memperkuat perbatasan. Pemerintah berjanji melakukan review berkala setiap enam bulan untuk menilai apakah pembatasan perlu dilanjutkan atau dimodifikasi, tergantung kemajuan negara-negara terkait dalam meningkatkan standar vetting mereka.
Kesimpulan
Perluasan pembatasan masuk ke 39 negara menandai pendekatan yang lebih ketat dalam pengelolaan imigrasi AS, dengan fokus utama pada keamanan nasional. Meski menuai beragam respons, kebijakan ini mencerminkan prioritas untuk memastikan hanya individu yang dapat diverifikasi dengan baik yang masuk ke wilayah AS. Di masa depan, kerjasama internasional dalam berbagi informasi keamanan bisa menjadi kunci untuk mengurangi atau menghapus pembatasan bagi beberapa negara. Sementara itu, kebijakan ini diharapkan memberikan perlindungan lebih bagi masyarakat AS tanpa mengabaikan pengecualian kemanusiaan yang ada.




